SEJARAH UANG INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN
Uang yang kita kenal dan kita gunakan sekarang ini, telah melalui proses perkembangan yang panjang, Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri.
Namun terlepas dari itu, tahukah anda perkembangan mata uang ini sebelum mencapai bentuk yang sekarang ini? Nah, jika anda penasaran, maka pada topik kali ini kami akan mengulas sejarah mata uang Indonesia pada masa penjajahan. Yuk, simak ulasannya di bawah ini.
MATA UANG GULDEN
“Gulden pada sejarah uang Indonesia sempat ditarik dari peredaran karena berukirkan Ratu Wilhelmina dengan rambut yang terurai”.
Perekonomian Indonesia di masa penjajahan Belanda tidak terlepas dari peran pemerintahan kolonial Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
VOC
menyebarluaskan penggunaan mata uang Gulden Hindia-Belanda dalam
kegiatan perekonomian di nusantara. Selain gulden, mata uang lain yang
digunakan—khususnya di wilayah Sumatra dan Jawa adalah dolar.
Sumatra
dan rupiah Jawa (keduanya hanya bertahan sampai tahun 1824
Masehi). Keduanya punah karena pemerintah kolonial menegaskan penggunaan
gulden.
Gulden pada sejarah uang Indonesia sempat ditarik dari peredaran karena berukirkan Ratu Wilhelmina dengan rambut yang terurai. Penarikan dari peredaran ini dilakukan karena dianggap sebagai penggambaran tidak sopan kepada seorang bangsawan.
Gulden berjaya di Indonesia untuk waktu yang relatif lama. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Jepang pun mata uang Belanda ini masih digunakan.
Hanya saja, pada gulden di masa penjajahan Jepang tertera tulisan “De Japansche Regering” (“pemerintah Jepang”).
Selain itu, pemerintah kolonial Jepang juga mengedarkan mata uangnya sendiri, yaitu Dai Nippon Teikoku Seihu. Selain gulden dan mata uang Jepang, mata uang lain yang pernah beredar dalam masa sejarah Indonesia adalah mata uang rupiah Hindia-Belanda.
Mata uang ini diperkenalkan di tahun 1944 tetapi hanya bertahan satu tahun karena terimbas peperangan (Perang Dunia II).
SEJARAH UANG INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN
Dalam sejarah Indonesia, mata uang yang
secara resmi beredar pada awal masa kemerdekaan adalah mata uang Jepang,
gulden Hindia-Belanda, dan mata uang De Javasche Bank. Inflasi mata
uang sempat terjadi pada mata uang Jepang, terkait kekalahannya dalam
Perang Dunia II.
Rakyat kecil Indonesia adalah pihak yang
paling dirugikan atas inflasi tersebut, karena rakyat kecil Indonesia
saat itu paling banyak menggunakan mata uang Jepang dalam kegiatan
ekonomi sehari-hari. Kerugian rakyat kecil dalam sejarah uang Indonesia
diperparah dengan diturunkannya kebijakan Panglima AFNEI yang menduduki
Indonesia tahun 1946.
Kebijakan tersebut berisi pemberlakuan mata uang NICA
sebagai alat transaksi resmi di Indonesia. Kebijakan ini menuai protes
dari pihak pemerintah Indonesia karena mata uang NICA dianggap merugikan
rakyat pribumi dan mengacaukan stabilitas perekonomian Indonesia yang
baru saja merdeka. Sikap protes pemerintah Indonesia ditunjukkan dengan
dikeluarkannya kebijakan pelarangan menggunakan mata uang NICA dalam
bertransaksi. Langkah besar sejarah uang Indonesia yang pertama dalam
mengatasi dilema penggunaan mata uang dengan pasukan AFNEI adalah
diterbitkannya ORI (Oeang Republik Indonesia).
Pada 26 Oktober 1946, pemerintah
Indonesia dengan tegas dan berani mengeluarkan mata uang baru dan
melarang penggunaan mata uang asing mana pun, termasuk NICA. Rakyat
Indonesia yang baru merdeka mendukung sepenuhnya langkah berani ini.
Rakyat banyak menggunakan ORI, sebagai simbol keberpihakannya kepada
pemerintah Indonesia. Pada masa penggunaan mata uang ORI inilah,
Indonesia menggoreskan perubahan-perubahan besar di bidang perbankan,
seperti berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia
(BRI), dan sebagainya.
Pendirian bank-bank nasional ini
sebenarnya merupakan bentuk akuisisi pemerintah Indonesia terhadap
aset-aset peninggalan para pemerintah sebelumnya, terutama pemerintah
penjajah Jepang. Dalam perkembangan ekonomi dan sejarah uang Indonesia, mata uang ORI hanya digunakan hingga tahun 1949.
Selanjutnya, Bank Indonesia memperkenalkan Rupiah sebagai mata uang resmi Indonesia.
Rupiah, yang berasal dari kata rupee, yaitu mata uang India sebenarnya
sudah ada sejak masa pemerintahan penjajahan Belanda, tetapi kalah pamor
dibandingkan mata uang gulden.
UANG DI INDONESIA:
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa.
Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran hutang.Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Rupiah adalah mata uang resmi Indonesia.
Mata uang ini dicetak dan diatur penggunaannya oleh Bank Indonesia
dengan kode ISO 4217 IDR. Secara tidak formal, orang Indonesia juga
menyebut mata uang ini dengan nama “perak”. Satu rupiah dibagi menjadi
100 sen, walaupun inflasi telah membuatnya tidak digunakan lagi kecuali
hanya pada pencatatan di pembukuan bank.
Pada awalnya seorang pemilik koin emas
yang ingin mengamankannya dari bahaya akan menitipkannya pada seorang
pandai emas atau seseorang yang memiliki peti yang kuat dan loket untuk
penebusannya. Ia akan meninggalkannya tentu saja dengan syarat ia dapat
menariknya kembali, semuanya atau sebagiannya setiap saat ia perlukan.
Misalnya ada 11 orang menitipkan
misalnya 100 keping emas pada seorang pemilik peti penyimpanan; maka
orang ini akan menjadi bankir mereka. Mereka akan datang kepadanya dari
waktu ke waktu, masing-masing menarik sebagian uang mereka yang akan
dipakai atau menyerahkan sejumlah uang lain untuk disimpan.
Dengan segera diketahui pada prakteknya
jumlah uang yang ditarik dalam jangka waktu tertentu, katakanlah sebulan
telah digantikan oleh depositor dengan kecepatan rata-rata tertentu:
yakni meski ada jumlah tertentu ada sejumlah terkait yang didepositkan.
Tetapi di antara arus masuk dan arus keluar, selalu ada sejumlah besar
cadangan di tangan. Selalu ada sejumlah besar cadangan emas dan perak di
tangan orang yang dipercayai menyimpannya.
Dalam praktek diketahui bahwa secara
permanen sisa uang yang tak terpakai ini ada sejumlah sepuluh kali dari
jumlah yang perlu disiapkan untuk memenuhi permintaan penarikan.
Di tangan si bankir yang mendapatkan
kepercayaan sebelas nasabah yang menitipkan uang, ada sebanyak 1100
Poundsterling dengan 1000 Pounds dari yang 1100 ini sepenuhnya
menganggur dalam waktu tertentu. Cukup bagi si bankir untuk hanya
menyimpan yang 100 Pound itu sebagai cadangan untuk memenuhi permintaan
penarikan sebab ia bisa mengandalkan arus masuk deposit baru sebebasnya
untuk memenuhi seberapapun arus penarikan terjadi.
Si Jones boleh jadi menarik 10 Pound
dari 100 Pound tabungannya untuk keperluan tahun baru, tapi pada
Candlemas sebulan kemudian, ia akan membayarkan 10 Pound yang ia ambil
itu untuk kembali ditabung. Dengan demikian cuma 1/10 dari jumlah total,
yang harus disimpan oleh si bankir untuk memenuhi kewajibannya. Sisanya
– sekurangnya ia gelapkan, ini penggelapan karena seseorang menggunakan
milik orang lain yang dipercayakan kepadanya demi tujuan pribadi.
Tapi karena terbiasa, penggelapan ini
lama-kelamaan dianggap wajar. Maka pada akhirnya si bankir merasa aman
bila ia hanya mencadangkan 1/10 dari uang yang, berdasarkan hukum dan
moral, ia wajib membayarkannya saat diminta. Sisanya yang 9/10 ia dapat
gunakan untuk apa saja yang ia mau, khususnya diutangkan dengan riba.
Tapi itu baru awal dari cerita. Sebab
sebagaimana kita ketahui, para bankir akan menerbitkan ‘tanda terima’,
kuitansi, atau istilah resminya ‘janji pembayaran’ (promissory note),
sebagai bukti penitipan koin emas itu. Oleh nasabahnya, kuitansi itu
diterima seolah sebagai benar-benar pembayaran. Kertas ini, hari ini
kita sebut sebagai cek.
Kemudian beredar dari satu tangan ke
tangan yang lain untuk sewaktu-waktu di-cash kan (ditukar dengan koin
emas di bank). Secarik kertas inipun di bawah hukum alat tukar (law of
legal tender) akhirnya menjadi uang itu sendiri. Dengan instrumen ini
para bankir mendapatkan keuntungan secara luar biasa karena, dengan
mengeluarkan kerta-kertas ‘janji pembayaran’ ini, telah menciptakan uang
dari kehampaan.
Anda dan saya dengan 1100 Poundsterling
dapat mengupah 11 orang untuk membangunkan sebuah rumah untuk kita dalam
waktu 6 bulan. Tapi seorang bankir dengan 1100 Pound dapat sekaligus
membangun 10 rumah. Anda dan saya dapat meminjamkan uang kita yang 1100
Pound itu dengan 5% bungan dan mendapatkan 50 Pound dalam setahun; tapi
seorang bankir, dengan dasar yang sama, dapat memperoleh sebanyak 550
Pound dalam setahun.
Ini juga belum akhir dari cerita, karena
dengan berlakunya janji pembayaran tersebut sebagai uang itu sendiri,
para bankir dapat melipat gandakan uangnya lagi, dengan cara menciptakan
utang kepada para nasabah. Dengan teknik cadangan sebagaian ini,
seorang bankir kemudian dapat memperbanyak ‘uang’ -nya sampai jumlah
hampir tak terbatas, dengan jalan mengutangkan (tepatnya: membukukan
utang) dengan bunga tersebut. Dalam istilah perbankan praktek ini
disebut sebagai ‘ekspansi kredit’. Syarat cadangan sebagian atau
fractional reserve requirement lazimnya pada mulanya adalah antara
8-10%. Dengan teknologi yang lebih baru, kartu kredit, sebuah bank
bahkan praktis dapat membukukan utang – dengan demikian menciptakan uang
– tanpa cadangan sama sekali.
Di Indonesia, pasca liberalisasi sektor
perbankan pada 1988, persyaratan cadangan ini bahkan menjadi sangat
kecil, diturunkan dari 15% menjadi 2%. Ini bibit yang menjadi awal
malapetaka bangsa ini yang satu dekade kemudian ketika sektor perbankan
in Indonesia rontok. Kita akan dengan luas kembali membahas nasib bangsa
Indonesia yang kini terjebak dalam permainan para rentenir global ini
di bawah nanti.
Kemampuan menciptakan kredit inilah yang
memberikan oligarki keuangan kekuatan politik yang sebenarnya. Sejumlah
bukti-bukti lain akan diberikan di bawah nanti, baik di masa awal
konsolidasi kapitalisme (abad ke-19) maupun di zaman mutakhir kini.
Bank-bank kini menciptakan kredit dalam bentuk utang nasional, pada
dasarnya, untuk tujuan apa saja – mulai dari perang, proyek
‘pembangunan’, bahkan ‘reformasi politik’. Tujuan utang bagi para
rentenir adalah demi memperbanyak utang itu sendiri, karena dengan
begitu mereka menciptakan kekayaan dengan cepat dan mudah. Tapi bagi
sebuah bangsa, utang nasional apalagi yang merupakan ‘kredit politik’
seperti yang dikenal sebagai Structural Adjusment Loan dari IMF, dapat
berarti ‘utang untuk menggali kuburnya sendiri’. Contoh kasusnya utang
kepada Daulah Utsmani dan, semakin dapat dibuktikan kebenarannya, yang
diberikan kepada bangsa kita sendiri sebagaimana kita alami hari-hari
ini. Kita akan melihat fakta-faktanya di bawah nanti.
Semuanya sudah makin jelas kini. Tapi
masih ada juga kesalahpahaman lain tentang uang kertas dan implikasinya.
Sebagian beranggapan bahwa uang kertas lebih memajaki (membebani) kaum
yang kaya yang punya lebih banyak uang daripada kaum miskin yang lebih
sedikit memegangnya. Ini kekeliruan fatal, karena yang sebaliknyalah
yang terjadi. Inflasi adalah pajak yang jauh lebih dibebankan kepada
orang miskin. Sebab, meskipun inflasi menurunkan nilai semua mata uang
dalam suatu waktu tanpa melihat siapa yang memilikinya, inflasi lebih
menguntungkan orang-orang yang tengah berutang. Sebab, mereka yang
berutang, akan melunasinya dengan nilai uang yang secara riel lebih
kecil dari nilai asal yang menjadi kewajibannya semula. Karena yang
mendapatkan kredit ini kebanyakan adalah orang kaya, merekalah yang
lebih diuntungkan oleh sistem ini, dengan dua alasan:
- Inflasi menurunkan nilai riel uang yang harus dibayarkan oleh debitur kaya tersebut.
- Sistem uang kertas memberikan keistimewaan eksklusif yang luar biasa kepada orang kaya berupa akses untuk mendapatkan modal dari perbankan.
Secara keseluruhan sistem uang kertas
adalah suatu bentuk ketidakadilan berupa pajak yang paling berat bagi
warga negara, terlepas dari kelas sosial dan kondisi lainnya, demi
keuntungan segelintir pribadi-pribadi. Semakin banyak uang yang
diciptakan dalam bentuk kredit yang dikeluarkan oleh bank, semakin
tinggi pajak yang harus ditanggung oleh masyarakat. Tingkatnya melebihi
inflasi, karena harus kita tambahkan di sini dengan tidak meratanya
peredaran uang, karena berlakunya formula ‘uang-datang-kepada-uang’.
Seseorang yang akan meminta kredit kepada bank, katakanlah Rp. 1 Milyar,
harus menyediakan ekuitas senilai yang sama, Rp 1 Milyar. Mungkinkah Rp
1 Milyar ini disediakan oleh seorang nelayan di Muara Angke? Kredit
perbankan hanya akan datang kepada kaum kaya, yang akibatnya akan makin
mempertajam jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin.
Itulah, boleh jadi, sisi terburuk dari
sistem uang kertas: perpajakan terselubung, yang tidak terlihat karena
tidak mudah, dan tidak pernah, dihitung seperti halnya inflasi. Secara
keseluruhan itulah kapitalisme, yang ditopang oleh dua sumber daya
hidupnya, riba sebagai jantung kiri dan pajak sebagai jantung kanannya.
Dalam skala global kapitalisme, sebagaimana akan segera kita perlihatkan
di bawah ini, telah menggantikan kekuatan militer sebagai alat untuk
mengendalikan (baca: menjajah) warga masyarakat.
Selain alat dan cara penjajahannya ada
perbedaan penting lain pada
kolonialisme baru dibanding yang lama yang
patut diketahui, meski pelaku dan korbannya sama. Ketika kolonialisme
berlangsung secara fisik-militer, para pelakunya memperalat suatu
pemerintahan (nasional) untuk menduduki secara fisik – di bawah ancaman
militer – suatu pemerintahan (nasional) lainnya. Di balik layar adalah
para rentenir dan pedagang yang mengeruk kekayaan dari bangsa yang
dimangsanya.
Kini, dalam kolonialisme baru, para
pelakunya tidak lagi memperalat suatu pemerintahannya secara langsung,
tapi melalui jaringan finansial multilateral (IMF dan Bank Dunia), yang
memaksa pemerintahan nasional korban untuk melegalkan operasi-operasi
mereka. Sejumlah lembaga multilateral lain, seperti ISO (International
Standard Organization), WIPO ( World Intellectual Property Organization)
dan sejenisnya, dengan yang terutama adalah WTO (World Trade
Organization), memainkan peran yang sama di sektor jasa dan perdagangan.
Di belakang mereka kemudian berbondong-bondong perusahaan-perusahaan
Multinasional (Multinational Corporation atau MNC) untuk mereguk
kekayaan dari tempat mereka beroperasi.
Kita akan membahas hal ini dengan lebih
luas berikut ini. Marilah kita kembali ke fakta-fakta sejarah, dengan
mulai mengacu pada peristiwa abad ke-19, yang merupakan masa-masa
konsolidasi kekuatan kapitalisme dunia. Kita akan melihat peristiwa di
negeri Muslim, yakni Mesir, dan implikasinya kemudian bagi Daulah
Utsmani. Terakhir kita longok keadaan negeri kita sendiri, Indonesia.
Ini adalah uang terbaru tahun 2016 dan juga pembaruan uang logam yang dulu.
Terimakasih sudah membaca artikel ini semoga bermanfaat :) wassalam